Kearifan Tradisional Pengelolaan Lingkungan pada Masyarakat Suku Bangsa Aceh

Posted By aksilingkungan.com on Friday, March 3, 2017 | 1:07 AM

AksiLingkungan.com - Setiap komunitas mengembangkan pengetahuan kearifan sendiri dalam menata lingkungannya. Artinya antara satu kelompok masyarakat dengan kelompok lain berbeda adat istiadat dan tradisinyanya meskipun mungkin ada pula yang sama dari satu kelompok suku bangsa. Sebagaimana ungkapan yang sangat populer, yaitu "lain lubuk lain ikannya dan lain padang lain belalangnya". Demikian pula dengan masyarakat Aceh, memiliki pengetahuan kearifan sendiri dalam mengelola lingkungannya. Masyarakat Aceh "tempoe doeloe" telah menciptakan berbagai ketentuan tentang pengelolaan lingkungan, seperti norma-norma adat yang selanjutnya menjadi tradisi. Sesuai dengan perkembangan masyarakat, yang ditandai dengan adanya kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini, telah menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan dalam adat atau tradisi. Beberapa tradisi yang berhubungan dengan pemeiiharaan dan penataan lingkungan juga ikut berubah. Perubahan ini tentunya akan terus berlanjut selaian dengan lajunya perkembangan teknologi, karena adanya kecenderungan masyarakat yang lebih senang memanfaatkan hasil teknologi moderen yang dianggapnya lebih efektif. Mereka tidak menyadari resiko yang diakibatkan dari teknologi itu sendiri, misalnya cara petani mengusir atau membasmi hama pada tanaman pertaniannya. Mereka tidak lagi menggunakan cara-cara yang dulu dilakukan oleh nenek moyangnya dengan kearifan-kearifan tradisional, tetapi menggunakan teknologi moderen dengan cara penyemprotan obat-obat beracun, seperti pestisida. Sebagaimana diketahui resiko dari cara penyemprotan semacam ini berdampak sangat besar terhadap lingkungan sekitarnya. Berbagai jenis fauna dan flora tersebut juga merupakan bagian dari keperluan hidup manusia itu sendiri.

Masyarakat Aceh tempoe doeloe telah menciptakan berbagai pantangan adat, upacara-upacara tradisional dan juga bermacam tradisi lainnya dalam membina suatu lingkungan yang harmonis. Jika kita amati macam-macam kebijakan yang diciptakan itu dapat menyingkap berbagai pesan budaya yang mempunyai arti cukup besar bagi upaya penataan suatu lingkungan yang harmonis. Di antara pesan-pesan tersebut ada yang bersifat sakral magis, sehingga tidak disampaikan secara langsung, melainkan dengan pantangan-pantangan yang penuh dengan makna-makna simbolik. Dengan demikian untuk memaknainya diperlukan pemahaman mendalam terhadap latar belakang sosial-budaya masyarakat Aceh. Di samping itu juga ada ketentuan-ketentuan yang diciptakan namun kemudian diubah karena tidak sesuai lagi dengan jiwa zaman, misalnya adat-adat atau kebiasaan-kebiasaan yang dapat menimbulkan mudharat bagi masyaraakat Aceh.

Berikut ini dipaparkan beberapa contoh pengetahuan kearifan yang dikembangkan masyarakat Aceh secara turun-temurun dalam kaitan dengan penataan lingkungan yang harmonis. Sebagaimana diketahui bahwa orang Aceh sangat fanatik kepada agama Islam yang dianutnya, sehingga hal-hal yang berkaitan dengan adat diperlakukan berdasar kepada kaidah-kaidah hukum agama Islam. Hal ini sesuai dengan ungkapan, "adat ngon hukom hanjeuet cree lagee zat ngon sifeuet", yang artinya adat dengan syariat Islam tidak dapat dipisahkan (sudah menyatu) seperti zat dengan sifatnya atau seperti kuku dengan daging. Dengan demikian tata kehidupan dalam masyarakat Aceh diatur oleh norma-norma adat yang berdasarkan khaidahkhaidah syariat Islam.

Gambar: Romoh Aceh
Pengetahuan kearifan yang berkaitan dengan membangun rumah. Bentuk bangunan rumah Aceh dulunya disesuaikan dengan kaidah agama seperti arah rumah harus menuju kiblat; agar secara tidak langsung memperingatkan penghuni rumah supaya tidak lupa melakukan shalat. Tiap rumah Aceh lazimnya memiliki dua buah sumur satu di depan dan satu di belakang, yang di depan diperuntukkan buat tamu. Untuk kenyamanan penghuninya di sekeliling rumah ditanami dengan berbagai kebutuhan sehari-hari dan juga tanaman hiasan. Suatu hal yang agak kontradiksi dengan keharmonisan, yaitu dalam kompiek rumah Aceh terdapat kandang-kandang hewan seperti kerbau, sapi, kambing, ayam dan itik. Namun sesuai dengan perkembangan zaman hal ini sekarang sudah agak berkurang.

Tradisi yang juga berkaitan dengan penataan lingkungan yaitu yang berkaitan dengan masalah pemeliharaan hewan. Hewan seperti sapi, kerbau, kambing tidak dibenarkan dilepas begitu saja secara bebas, ada masanya yaitu pada waktu iuah biang, artinya sapi-sapi atau kerbau dan berbagai jenis ternak lainnya dapat dilepas di sawah secara bebas sesudah selesai panen. Tujuannya iaiah selain ternak agar menjadi gemuk karena dapat makan secara bebas (mulai pagi hingga sore) juga dapat leluasa "main cinta" sehingga hewan yang betina pada saatnya akan bunting, selain itu juga agar rumput-rumput di sawah dapat cepat hilang serta tanah-tanah sawah akan menjadi lebih subur karena adanya kotoran ternak tersebut.

Seperti kebun di Aceh sesunguhnya harus memiliki pagar sebagai tanda kebun itu ada pemiliknya. Demikian juga seperti sawah yang disebut umong harus berpematang. Dengan demikian orang tidak boleh sembarangan melakukan hal-hal negatif terhadap kebun dan sawah tersebut. Dalam hubungan ini pada masyarakat Aceh ada suatu ungkapan: "Lampoh meupageue, Umong Meuateueng", artinya kebun berpagar dan sawah berpematang. Setiap orang yang memelihara ternak harus hati-hati memelihara ternaknya, jangan sampai memasuki kebun dan sawah orang lain. Tidak jarang orang akan bertengkar yang akhirnya menjadi malapetaka karena masalah ternak Ini, seperti tercermin dalam ungkapan berikut Ini asai cumut nibak kudee, asai pakee nibak dakwa. Artinya Bisul berasal dari kudis dan pertengkaran berasal dari dakwa. oleh karena Itu, orang juga menyebutkan bahwa kambing adalah ternak sumber malapetaka. la diumpamakan sebagai parang pageue (garang pagar), maksudnya karena kambing Itu memakan apa saja dan orang yang memeilharanya akan memotong daun apa saja untuk makanan kambing.

Tradisi lain yang mempunyai kaitan dengan pemeiiharaan lingkungan, yaitu beberapa pantangan bagi seorang wanita. Seorang wanita hamil tidak dibolehkan makan pisang atau pisang yang tumbuh berdempet, karena akibatnya la dapat melahirkan anak kembar. Demikian pula jika seorang wanita yang sudah melahirkan anak, maka menurut anggapan si wanita Itu selama 44 hari la berada dalam keadaan tidak suci, sama halnya dalam keadaan haid. Maka dalam keadaan Itu ia tidak diperbolehkan atau pantang pergi ke kebun yang ditanami tanamantanaman yang rapuh batangnya, karena batang-batang tanaman tersebut akan menjadi busuk.

Bila wanita telah melahirkan, baru dapat mengunjunginya setelah 10 hari. Pengunjung membawa untuk wanita yang melahirkan Itu berupa ketan kuning dan berbagai jenis jeruk sedangkan untuk (anak) bayinya di bawa beberapa jenis pisang. Pembawaan Ini dinamakan neume. Oleh karenanya hampir semua penduduk di Aceh di pekarangan atau di sekitar rumahnya di tanami dengan pohon-pohon pisang dan pohon jeruk, dl samping pohon-pohon berbuah lainnya seperti keiapa dan sawo.

Suatu jenis tanaman yang selalu dilestarikan yang juga berkaitan dengan penataan lingkungan dan merupakan pelambang yang paling besar dalam masyarakat Aceh, yaitu sirih. Dalam setiap kegiatan dan upacara, daun sirih pasti tidak ditinggalkan. dalam upacara pertunangan dan perkawinan, sirih memegang peranan penting sebagai salah satu bukti. Misalnya pada waktu penyerahan tanda-tanda pertunangan oleh utusan ayah pengantin pria kepada keluarga pengantin wanita, maka selain hadiah-hadiah pertunangan, juga diserahkan ranib kong haba atau ranup kong narit, yakni sirih yang menandakan bahwa perjanjlan Itu adalah sungguh-sungguh. Sebagai tanda menghormati seorang tamu juga diberikan sirlh untuk dikunyah. Sirlh Itu terdiri dari pinang (kadangkala pinang telah dipanggang), tembakau, gambir, sedikit kapur, dan dua atau tiga lembar sirlh. Oleh karena sirlh Ini "paling dekat" dengan orang Aceh dan sebagai simbol kemuliaan, maka hampir pada setiap rumah terdapat pohon sirih yang sengaja ditanam oleh orang Aceh.

Berkaitan dengan pengelolaan lingkungan laut, masyarakat suku bangsa Aceh setiap tahunnya mengadakan upacara khanduri laot (kenduri laut). Upacara kendurl laut Ini dipimpin oleh seorang Panglima laot (panglima laut/ Ketua Lembaga Adat berkaitan dengan kelautan yang dipilih oleh nelayan dan mengetahui pengetahuan kelautan secara tradisional). Di dalam upacara kanduri laot ini diadakan penyembellhan hewan berupa kerbau dan pembacaan doa-doa untuk keselamatan nelayan serta mudah rezekl. Pada akhir upacara pangllma laot akan menyampalkan pidato mengenai larangan dan pantangan untuk turun kelaut 3 hari penuh, yaitu: sehari sebelum upacara, pada hah upacara dan sehari setelah upacara berlangsung; Kemudian juga diumumkan untuk tidak turun ke laut pada hari Jumat sejak terbit matahari sampai selesai shalat Jumat; Pada hari raya Idul FItrl selama satu hari penuh; Hari Raya Idul Adha tiga hari terhitung dari hah pertama; Apabila ada nelayan meninggal dunia dalam wilayah adat laut, hingga selesai acara penguburan. tidak boleh menggunakan pukat harlmau, serta tidak boleh mencabut dan memotong bak bangka (pohon bakau). Apabila pantangan Ini dilanggar, maka akan dikenakan sanksl oleh Panglima laot. Simbol-slmbol dalam upacara serta pantangan dan larangan yang disampaikan oleh panglima laot, secara langsung atau tidak langsung memberikan kontrlbusi bagi kelestarlan lingkungan laut.

Berkaitan dengan pertanian, masyarakat menanam tumbuh-tumbuhan dengan melihat kepada gejala-gejala alam. Apabila udara dingin menandakan akan tibanya musim panas. Sebaliknya apabila hawa panas menandakan hujan akan turun. Selanjutnya jika bunga gelinggang mekar dan semut berlrlngan memotong jalan menandakan hujan akan tIba. Jika laba-laba banyak membuat sarang di dalam rumput menandakan musim kemarau akan tiba.

Sedangkan untuk mengetahui musim angin, dilihat pada letak atau posisi bintang tujoh (bintang tujuh). Biasanya pada bulan Juni posisi bintang tujuh berat ke Selatan, maka akan tiba musim angin Selatan. Sedangkan pada bulan Mei posisi arah ke Barat pertanda musim Barat akantiba.

Adapun waktu yang baik memulai turun ke sawah (bercocok tanam), adalah antara bulan Juni sampai dengan bulan September setiap tahunnya. pada bulan Juni diperhitungkan hujan sudah mulai turun dan pada bulan September air sudah mulai merata. Dengan demikian para petani apabila ingin mulai masa tanam, mereka berpedoman kepada gejala-gejala alam dengan menunggu perintah dari Keujreuen Blang (Ketua Lembaga Adat yang berkenaan dengan pertanian yang dipilih oleh para petani ). Sebelum petani turun ke sawah, Keujreuen Blang mengkoordinir para petani untuk melakukan upacara tron u blang (upacara turun ke sawah). Di samping itu juga didoakan dengan ayat-ayat Al-Quran serta doa-doa yang dituiis pada sehelai kertas dengan tujuan agar padi atau tanaman yang ditanam terhindar dari hama dan tumbuh subur.

Begitu juga masyarakat Aceh yang tinggal di pedesaan khususnya yang berada di kawasan hutan, pada umumnya mempunyai pekerjaan di bidang pertanian dan memperlihatkan hubungan yang erat dengan lingkungan hidupnya. Di samping itu masyarakat di kawasan hutan pada umumnya mempunyai sikap dan pola pikir yang masih memegang teguh pada norma dan adat serta tradisi yang telah diwarisi secara turun temurun.

Hal itu terlihat pada kebiasaan mereka sewaktu membuka lahan baru dengan mengikuti norma-norma yang telah ditetapkan oleh "Petua Adat" baik yang berkenaan dengan subyek dan obyekyang dibolehkan maupun tata cara pelaksanaannya. Adapun yang dimaksud subyek adalah yang dibolehkan membuka lahan adalah warga masyarakat setempat terutama laki-laki yang sudah berkeluarga. Selain itu terdapat juga larangan-larangan dalam pembukaan lahan di tempat tertentu, yaitu pada sumber mata air. Berkenaan dengan hal tersebut mereka merasa yakin apabila tempat tersebut dimanfaatkan untuk perkebunan misalnya maka akan menganggu sumber mata air. Pelanggaran atas ketentuan ini akan dikenakan sanksi bagi pelaku berupa denda satu ekor kambing dan satu talam bu leukat kuning (ketan kuning serta perlengkapan upacara. Selain itu yang termasuk dilarang adalah kawasan Guling Are. Kawasan guling are ini adalah kawasan hutan yang tingkat kemiringannya 40 derajad ke atas, maksudnya adalah suatu kemiringan yang apabila are (suatu alat ukur untuk isi beras atau padi dan sejenisnya yang terbuat dari potongan bambu yang berkapasitas 1,6 kilogram) apabila diletakkan akan bergulir. Hal tersebut beralasan karena untuk memudahkan pengelolaan lahan dan lebih dari itu untuk menghindari terjadinya tanah longsor.

Sumber:
Hoesin, Moehammad, AdatAtjeh, Dinas Pendidikan dan Kebudajaan Propinsi Daerah
Isitmewa Atjeh.1970
Jalil, Tuanku Abdul, Adat Meukuta Alam, Seri Informasi Aceh Thn.XIV, No. 1 Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, Banda Aceh.1991
LAKA,Pedoman Umum Adat Aceh, Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh Propinsi Daerah Istimewa Aceh, 1990
Blog, Updated at: 1:07 AM

0 comments:

Post a Comment