AksiLingkungan.com - Setiap komunitas mengembangkan pengetahuan kearifan sendiri dalam menata
lingkungannya. Artinya antara satu kelompok masyarakat dengan kelompok lain berbeda adat
istiadat dan tradisinyanya meskipun mungkin ada pula yang sama dari satu kelompok suku
bangsa. Sebagaimana ungkapan yang sangat populer, yaitu "lain lubuk lain ikannya dan lain
padang lain belalangnya". Demikian pula dengan masyarakat Aceh, memiliki pengetahuan
kearifan sendiri dalam mengelola lingkungannya. Masyarakat Aceh "tempoe doeloe" telah
menciptakan berbagai ketentuan tentang pengelolaan lingkungan, seperti norma-norma adat
yang selanjutnya menjadi tradisi.
Sesuai dengan perkembangan masyarakat, yang ditandai dengan adanya kemajuan di
bidang ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini, telah menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan
dalam adat atau tradisi. Beberapa tradisi yang berhubungan dengan pemeiiharaan
dan penataan lingkungan juga ikut berubah. Perubahan ini tentunya akan terus berlanjut selaian
dengan lajunya perkembangan teknologi, karena adanya kecenderungan masyarakat yang lebih
senang memanfaatkan hasil teknologi moderen yang dianggapnya lebih efektif. Mereka tidak
menyadari resiko yang diakibatkan dari teknologi itu sendiri, misalnya cara petani mengusir atau
membasmi hama pada tanaman pertaniannya. Mereka tidak lagi menggunakan cara-cara yang
dulu dilakukan oleh nenek moyangnya dengan kearifan-kearifan tradisional, tetapi menggunakan
teknologi moderen dengan cara penyemprotan obat-obat beracun, seperti pestisida.
Sebagaimana diketahui resiko dari cara penyemprotan semacam ini berdampak sangat besar
terhadap lingkungan sekitarnya. Berbagai jenis fauna dan flora tersebut juga merupakan bagian
dari keperluan hidup manusia itu sendiri.
Masyarakat Aceh tempoe doeloe telah menciptakan berbagai pantangan adat, upacara-upacara
tradisional dan juga bermacam tradisi lainnya dalam membina suatu lingkungan yang
harmonis. Jika kita amati macam-macam kebijakan yang diciptakan itu dapat menyingkap
berbagai pesan budaya yang mempunyai arti cukup besar bagi upaya penataan suatu lingkungan
yang harmonis. Di antara pesan-pesan tersebut ada yang bersifat sakral magis, sehingga tidak
disampaikan secara langsung, melainkan dengan pantangan-pantangan yang penuh dengan
makna-makna simbolik. Dengan demikian untuk memaknainya diperlukan pemahaman
mendalam terhadap latar belakang sosial-budaya masyarakat Aceh. Di samping itu juga ada
ketentuan-ketentuan yang diciptakan namun kemudian diubah karena tidak sesuai lagi dengan
jiwa zaman, misalnya adat-adat atau kebiasaan-kebiasaan yang dapat menimbulkan mudharat
bagi masyaraakat Aceh.
Berikut ini dipaparkan beberapa contoh pengetahuan kearifan yang dikembangkan
masyarakat Aceh secara turun-temurun dalam kaitan dengan penataan lingkungan yang
harmonis. Sebagaimana diketahui bahwa orang Aceh sangat fanatik kepada agama Islam yang
dianutnya, sehingga hal-hal yang berkaitan dengan adat diperlakukan berdasar kepada kaidah-kaidah
hukum agama Islam. Hal ini sesuai dengan ungkapan, "adat ngon hukom hanjeuet cree
lagee zat ngon sifeuet", yang artinya adat dengan syariat Islam tidak dapat dipisahkan (sudah
menyatu) seperti zat dengan sifatnya atau seperti kuku dengan daging. Dengan demikian tata
kehidupan dalam masyarakat Aceh diatur oleh norma-norma adat yang berdasarkan khaidahkhaidah
syariat Islam.
Gambar: Romoh Aceh |
Pengetahuan kearifan yang berkaitan dengan membangun rumah.
Bentuk bangunan rumah Aceh dulunya disesuaikan dengan kaidah agama seperti arah rumah
harus menuju kiblat; agar secara tidak langsung memperingatkan penghuni rumah supaya tidak
lupa melakukan shalat. Tiap rumah Aceh lazimnya memiliki dua buah sumur satu di depan dan
satu di belakang, yang di depan diperuntukkan buat tamu. Untuk kenyamanan penghuninya di
sekeliling rumah ditanami dengan berbagai kebutuhan sehari-hari dan juga tanaman hiasan.
Suatu hal yang agak kontradiksi dengan keharmonisan, yaitu dalam kompiek rumah Aceh
terdapat kandang-kandang hewan seperti kerbau, sapi, kambing, ayam dan itik. Namun sesuai
dengan perkembangan zaman hal ini sekarang sudah agak berkurang.
Tradisi yang juga berkaitan dengan penataan lingkungan yaitu yang berkaitan dengan
masalah pemeliharaan hewan. Hewan seperti sapi, kerbau, kambing tidak dibenarkan dilepas
begitu saja secara bebas, ada masanya yaitu pada waktu iuah biang, artinya sapi-sapi atau
kerbau dan berbagai jenis ternak lainnya dapat dilepas di sawah secara bebas sesudah selesai
panen. Tujuannya iaiah selain ternak agar menjadi gemuk karena dapat makan secara bebas
(mulai pagi hingga sore) juga dapat leluasa "main cinta" sehingga
hewan yang betina pada saatnya akan bunting, selain itu juga agar rumput-rumput
di sawah dapat cepat hilang serta tanah-tanah sawah akan menjadi lebih subur karena adanya
kotoran ternak tersebut.
Seperti kebun di Aceh sesunguhnya harus memiliki pagar sebagai tanda kebun itu ada
pemiliknya. Demikian juga seperti sawah yang disebut umong harus berpematang. Dengan
demikian orang tidak boleh sembarangan melakukan hal-hal negatif terhadap kebun dan sawah
tersebut. Dalam hubungan ini pada masyarakat Aceh ada suatu ungkapan: "Lampoh meupageue,
Umong Meuateueng", artinya kebun berpagar dan sawah berpematang. Setiap orang yang
memelihara ternak harus hati-hati memelihara ternaknya, jangan sampai memasuki kebun dan
sawah orang lain. Tidak jarang orang akan bertengkar yang akhirnya menjadi malapetaka karena masalah ternak Ini, seperti tercermin dalam ungkapan berikut Ini asai cumut nibak kudee, asai
pakee nibak dakwa. Artinya Bisul berasal dari kudis dan pertengkaran berasal dari dakwa. oleh
karena Itu, orang juga menyebutkan bahwa kambing adalah ternak sumber malapetaka. la
diumpamakan sebagai parang pageue (garang pagar), maksudnya karena kambing Itu memakan
apa saja dan orang yang memeilharanya akan memotong daun apa saja untuk makanan
kambing.
Tradisi lain yang mempunyai kaitan dengan pemeiiharaan lingkungan, yaitu beberapa
pantangan bagi seorang wanita. Seorang wanita hamil tidak dibolehkan makan pisang atau
pisang yang tumbuh berdempet, karena akibatnya la dapat melahirkan anak kembar. Demikian
pula jika seorang wanita yang sudah melahirkan anak, maka menurut anggapan si wanita Itu
selama 44 hari la berada dalam keadaan tidak suci, sama halnya dalam keadaan haid. Maka
dalam keadaan Itu ia tidak diperbolehkan atau pantang pergi ke kebun yang ditanami tanamantanaman
yang rapuh batangnya, karena batang-batang tanaman tersebut akan menjadi busuk.
Bila wanita telah melahirkan, baru dapat mengunjunginya setelah 10 hari. Pengunjung
membawa untuk wanita yang melahirkan Itu berupa ketan kuning dan berbagai jenis jeruk
sedangkan untuk (anak) bayinya di bawa beberapa jenis pisang. Pembawaan Ini dinamakan
neume. Oleh karenanya hampir semua penduduk di Aceh di pekarangan atau di sekitar
rumahnya di tanami dengan pohon-pohon pisang dan pohon jeruk, dl samping pohon-pohon
berbuah lainnya seperti keiapa dan sawo.
Suatu jenis tanaman yang selalu dilestarikan yang juga berkaitan dengan penataan
lingkungan dan merupakan pelambang yang paling besar dalam masyarakat Aceh, yaitu sirih.
Dalam setiap kegiatan dan upacara, daun sirih pasti tidak ditinggalkan. dalam upacara
pertunangan dan perkawinan, sirih memegang peranan penting sebagai salah satu bukti.
Misalnya pada waktu penyerahan tanda-tanda pertunangan oleh utusan ayah pengantin pria
kepada keluarga pengantin wanita, maka selain hadiah-hadiah pertunangan, juga diserahkan
ranib kong haba atau ranup kong narit, yakni sirih yang menandakan bahwa perjanjlan Itu
adalah sungguh-sungguh. Sebagai tanda menghormati seorang tamu juga diberikan sirlh untuk
dikunyah. Sirlh Itu terdiri dari pinang (kadangkala pinang telah dipanggang), tembakau, gambir,
sedikit kapur, dan dua atau tiga lembar sirlh. Oleh karena sirlh Ini "paling dekat" dengan orang
Aceh dan sebagai simbol kemuliaan, maka hampir pada setiap rumah terdapat pohon sirih yang
sengaja ditanam oleh orang Aceh.
Berkaitan dengan pengelolaan lingkungan laut, masyarakat suku bangsa Aceh setiap
tahunnya mengadakan upacara khanduri laot (kenduri laut). Upacara kendurl laut Ini dipimpin
oleh seorang Panglima laot (panglima laut/ Ketua Lembaga Adat berkaitan dengan kelautan
yang dipilih oleh nelayan dan mengetahui pengetahuan kelautan secara tradisional). Di dalam
upacara kanduri laot ini diadakan penyembellhan hewan berupa kerbau dan pembacaan doa-doa
untuk keselamatan nelayan serta mudah rezekl. Pada akhir upacara pangllma laot akan
menyampalkan pidato mengenai larangan dan pantangan untuk turun kelaut 3 hari penuh, yaitu:
sehari sebelum upacara, pada hah upacara dan sehari setelah upacara berlangsung; Kemudian
juga diumumkan untuk tidak turun ke laut pada hari Jumat sejak terbit matahari sampai selesai
shalat Jumat; Pada hari raya Idul FItrl selama satu hari penuh; Hari Raya Idul Adha tiga hari
terhitung dari hah pertama; Apabila ada nelayan meninggal dunia dalam wilayah adat laut,
hingga selesai acara penguburan. tidak boleh menggunakan pukat harlmau, serta tidak boleh
mencabut dan memotong bak bangka (pohon bakau). Apabila pantangan Ini dilanggar, maka
akan dikenakan sanksl oleh Panglima laot. Simbol-slmbol dalam upacara serta pantangan dan
larangan yang disampaikan oleh panglima laot, secara langsung atau tidak langsung memberikan
kontrlbusi bagi kelestarlan lingkungan laut.
Berkaitan dengan pertanian, masyarakat menanam tumbuh-tumbuhan dengan melihat
kepada gejala-gejala alam. Apabila udara dingin menandakan akan tibanya musim panas.
Sebaliknya apabila hawa panas menandakan hujan akan turun. Selanjutnya jika bunga
gelinggang mekar dan semut berlrlngan memotong jalan menandakan hujan akan tIba. Jika
laba-laba banyak membuat sarang di dalam rumput menandakan musim kemarau akan tiba.
Sedangkan untuk mengetahui musim angin, dilihat pada letak atau posisi bintang tujoh
(bintang tujuh). Biasanya pada bulan Juni posisi bintang tujuh berat ke Selatan, maka akan tiba
musim angin Selatan. Sedangkan pada bulan Mei posisi arah ke Barat pertanda musim Barat
akantiba.
Adapun waktu yang baik memulai turun ke sawah (bercocok tanam), adalah antara bulan
Juni sampai dengan bulan September setiap tahunnya. pada bulan Juni diperhitungkan hujan
sudah mulai turun dan pada bulan September air sudah mulai merata. Dengan demikian para
petani apabila ingin mulai masa tanam, mereka berpedoman kepada gejala-gejala alam dengan
menunggu perintah dari Keujreuen Blang (Ketua Lembaga Adat yang berkenaan dengan pertanian
yang dipilih oleh para petani ). Sebelum petani turun ke sawah, Keujreuen Blang mengkoordinir
para petani untuk melakukan upacara tron u blang (upacara turun ke sawah). Di samping itu
juga didoakan dengan ayat-ayat Al-Quran serta doa-doa
yang dituiis pada sehelai kertas dengan tujuan agar padi atau tanaman yang ditanam terhindar
dari hama dan tumbuh subur.
Begitu juga masyarakat Aceh yang tinggal di pedesaan khususnya yang berada di
kawasan hutan, pada umumnya mempunyai pekerjaan di bidang pertanian dan memperlihatkan
hubungan yang erat dengan lingkungan hidupnya. Di samping itu masyarakat di kawasan hutan
pada umumnya mempunyai sikap dan pola pikir yang masih memegang teguh pada norma dan
adat serta tradisi yang telah diwarisi secara turun temurun.
Hal itu terlihat pada kebiasaan mereka sewaktu membuka lahan baru dengan mengikuti
norma-norma yang telah ditetapkan oleh "Petua Adat" baik yang berkenaan dengan subyek dan
obyekyang dibolehkan maupun tata cara pelaksanaannya. Adapun yang dimaksud subyek adalah
yang dibolehkan membuka lahan adalah warga masyarakat setempat terutama laki-laki yang
sudah berkeluarga. Selain itu terdapat juga larangan-larangan dalam pembukaan lahan di tempat
tertentu, yaitu pada sumber mata air. Berkenaan dengan hal tersebut mereka merasa yakin
apabila tempat tersebut dimanfaatkan untuk perkebunan misalnya maka akan menganggu
sumber mata air. Pelanggaran atas ketentuan ini akan dikenakan sanksi bagi pelaku berupa
denda satu ekor kambing dan satu talam bu leukat kuning (ketan kuning serta perlengkapan
upacara. Selain itu yang termasuk dilarang adalah kawasan Guling Are. Kawasan guling are ini
adalah kawasan hutan yang tingkat kemiringannya 40 derajad ke atas, maksudnya adalah suatu
kemiringan yang apabila are (suatu alat ukur untuk isi beras atau padi dan sejenisnya yang
terbuat dari potongan bambu yang berkapasitas 1,6 kilogram) apabila diletakkan akan bergulir.
Hal tersebut beralasan karena untuk memudahkan pengelolaan lahan dan lebih dari itu untuk
menghindari terjadinya tanah longsor.
Sumber:
Hoesin, Moehammad, AdatAtjeh, Dinas Pendidikan dan Kebudajaan Propinsi Daerah
Isitmewa Atjeh.1970
Jalil, Tuanku Abdul, Adat Meukuta Alam, Seri Informasi Aceh Thn.XIV, No. 1 Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, Banda Aceh.1991
LAKA,Pedoman Umum Adat Aceh, Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh Propinsi Daerah Istimewa Aceh, 1990
0 comments:
Post a Comment